Baru saja saya menulis tentang lagu-lagu Iwan Fals mengenai tragedi, sementara tragedi atau bencana yang sebenarnya sedang terjadi di Sumatra. Di sana, banjir bandang sedang melanda, mengakibatkan jutaan orang terkena dampaknya.
Akibat krisis iklim, daerah di ujung barat Indonesia terkena hujan dengan curah yang tinggi, bahkan ada yang sampai 411mm per harinya. Jika curah hujan dengan 100mm per hari saja sudah dianggap sangat lebat, maka jumlah 411mm itu empat kali lipatnya[1]. Jumlah tersebut bisa anda bayangkan seperti lahan 1m² dituangi ±20 galon air.
Tak heran jika Sumatra tidak mampu untuk menampung seluruh airnya, sehingga bencana pun akhirnya tak terelakkan. Daerah yang terdampak lumpuh total, perekonomian tidak berjalan, orang-orang terjebak, mobil-mobil hanyut, bahkan sebanyak 920 nyawa per 8 Desember 2025 telah hilang[2].
Seluruh dunia melihat bencana ini, masyarakat beramai-ramai menggelar aksi solidaritas untuk Sumatra. Pemerintah sampai presiden pun ikut turun tangan dengan karung bantuan ditempeli poster bergambar wajahnya. Sebelum kesana, apakah benar bencana ini terjadi hanya karena curah hujan yang tinggi, bahkan bisa dibilang sangat ekstrim?
Menyalahkan fenomena alam memang mudah, hujan tidak akan marah jika disalahkan. Tapi bencana yang terjadi tidak semata-mata karena hujan, ada proses campur tangan manusia dibaliknya. Bisa dibilang manusia sendiri yang secara khusus mengundang bencana besar lewat 1,4 juta hektare lahan yang mengalami deforestasi pada kurun waktu 2016-2024[3].
Ahli geologi dari UGM menjelaskan jika bencana di Sumatra terjadi karena coupled hazard, di mana faktor alamiah dan antropogenik saling menguatkan sehingga bencana terjadi lebih destruktif[4]. Sederhananya, bencana terjadi karena perpaduan dari adanya cuaca ekstrim, kerusakan hutan, dan geomorfologi alami Sumatra.
Ibarat Sumatra diserang curah hujan yang tinggi, benteng yang mempertahankannya adalah hutan-hutannya. Hutan ini yang bekerja sebagai spons digunduli, benteng penyerap hujan tersebut otomatis runtuh. Sebagai gantinya air hujan secara masif menjadi banjir bandang, turun melewati lereng-lereng Sumatra, menghancurkan apa pun yang dilewatinya.
Pohon-pohon besar dengan akar-akar yang kuat dibabat habis, diganti dengan sawit yang katanya “sama-sama pohon kok”. Nyatanya, WALHI mencatat bahwa kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) di wilayah terdampak seperti Aceh sudah sangat parah, bahkan mencapai 75% di wilayah tertentu akibat tambang ilegal dan ekspansi perkebunan[3]. Ada lagi tuh yang bilang kalo zero mining itu goblok, siapa ya?
Narasi konyol yang bilang “sawit juga pohon dan sama-sama punya daun” juga apa dia tidak tahu (atau pura-pura) soal daya infiltrasi? Tanah dengan pohon-pohon alami mempunyai struktur berpori dan menyerap air, sementara tanah sawit tidak punya kemampuan itu[5], membiarkan air mengalir sampai jauh. Air langsung berselancar liar membawa lumpur, gelondongan kayu, dan material sisa penebangan ke pemukiman warga.
Terus kalo sudah begini bagaimana? Total kerugian yang ditaksir mencapai IDR68 triliun[6], dan ratusan nyawa terbuang sia-sia.
Jadi, ini bukan hanya sekadar musibah alam. Ini adalah bencana yang harus dibayar rakyat kecil akibat keserakahan pembukaan lahan yang tidak terkendali. Hujannya menjadi pemicu, karpet merah yang membuat banjir bandangnya adalah deforestasi. Haduh, jadi ingat saat Harrison Ford mewawancara Zulkifli Hasan, “that’s not funny”.
Memang tidak lucu, apa yang lucu dari deforestasi hutan?
Dalam film dokumenter Years of Living Dangerously[7] mengenai Taman Nasional Tesso Nilo, Riau, Harrison Ford terlihat geram kepada Zulkifli Hasan yang kala itu menjabat sebagai Menteri Kehutanan. Alasannya lantaran banyak lahan di Taman Nasional berubah menjadi perkebunan sawit. Ditambah Zulkifli Hasan tertawa canggung ketika percakapan sedang serius, bagaimana Harrison Ford tidak marah?
Oke, kembali ke persoalan awal.
Di tengah bencana dan juga tangisan warga, linimasa media sosial dipenuhi dengan pemandangan pejabat-pejabat yang turun untuk membantu. Salah? Tentu tidak. Namun, bantuan-bantuan yang disalurkan ditempeli poster-poster wajah yang lebih besar daripada tulisan bantuannya. Ada yang memanggul karung, membantu membersihkan rumah warga, menunjuk-nunjuk aliran deras banjir, dan sebagainya. Salah? Sekali lagi, tidak. Tapi niat elit-elit tadi terbaca sekali, cari muka di depan kamera.
Jika Machiavelli masih hidup, mungkin dia akan sangat bangga melihatnya. Apa yang dilakukan elit-elit tersebut adalah implementasi brutal dari tulisannya, Il Principe. Dari kacamata Machiavelli, hal yang dilakukan oleh mereka itu sudah benar secara politik, memanfaatkan sebaik mungkin kesempatan untuk menaikkan citra[8].
Masalahnya, rasionalitas politik itu bertabrakan dengan etika publik. Kita marah bukan karena bantuannya, kita marah karena orang-orang itu menganggap bencana ini sebagai komoditas untuk menaikkan citranya, apalagi sengaja sekali melakukannya di depan kamera. Kita marah karena kebenaran politik yang mereka anut sangat menghina akal sehat dan empati kita.
Di tambah status bencana yang belum ditetapkan sebagai “Bencana Nasional” (per 8 Desember 2025), jadinya terlihat seperti pemerintah pusat memaksa pemerintah daerah untuk mampu menangani bencana semasif ini sendirian. Penentuan status bencana ini terasa politis, jika menjadi bencana nasional, maka pundak tanggung jawab akan dilimpahkan ke pemerintah pusat. Jika tetap bencana daerah, maka pusat masih bisa cuci tangan plus datang sebagai pahlawan sembari bagi-bagi bantuan.
Maaf jika saya bilang seperti itu, karena memang susah sekali untuk berprasangka baik terhadap pemerintah, dan juga sudah seyogyanya kita sebagai rakyat untuk memberikan kritik kepada pemerintah. Jika memang pemerintah sudah baik dan benar, ya sudah, tidak perlu kita elu-elukan karena memang sudah sepatutnya pemerintah seperti itu, memang seperti itulah tugasnya.
Mereka mungkin lupa, Machiavelli juga dalam tulisannya menyebutkan jika bencana (nasib buruk) itu seperti sungai deras yang banjir. Pemimpin yang hebat (virtuous) adalah pemimpin yang membangun tanggul dan saluran air disaat cuaca sedang cerah, bukan saat banjir sudah datang[8]. Apakah hal ini dilakukan oleh pejabat kita? Tidak. Mereka malah meruntuhkan tanggul yang sudah jadi (hutan) demi tambang dan sawit. Dan saat tanggul sudah jebol, mereka sibuk untuk cari muka.
Bencana sudah terjadi, tanggul (hutan) tidak bisa kembali. Banjir tidak akan surut hanya dengan pose heroik di media-media, hutan tidak akan kembali dengan karung-karung bantuan. Peristiwa ini menjadi cermin terhadap siapa yang kita beri kuasa. Jika pemerintah tidak mengambil pelajaran dari bencana ini, maka bencana berikutnya hanya tinggal menunggu giliran saja.
“Bencana erosi selalu datang menghantui. Tanah kering-kerontang banjir datang itu pasti. Isi rimba tak ada tempat berpijak lagi. Punah dengan sendirinya akibat rakus manusia”
— Iwan Fals, “Isi Rimba Tak Ada Tempat Berpijak Lagi”
Sekian, dari luapan emosi dengan apa yang terjadi.
Zhafir Atha.
Referensi
[1] Ichwan Susanto-. “Kapan Curah Hujan Tinggi Pemicu Bencana di Sumatera Berakhir?” Kompas.id, December 1, 2025. https://www.kompas.id/artikel/kapan-curah-hujan-tinggi-pemicu-bencana-di-sumatera-berakhir.
[2] Tempo. “Basarnas: Update Korban Jiwa Banjir Sumatera 974 Orang per Senin.” Desember | 15.42 WIB 2025. https://www.tempo.co/politik/basarnas-update-korban-jiwa-banjir-sumatera-974-orang-per-senin-2097030.
[3] WALHI. “Legalisasi Bencana Ekologis Di Sumatera Barat, Aceh Dan Sumatera Utara Dan Tuntutan Tanggung Jawab Negara Serta Korporasi.” December 2, 2025. http://www.walhi.or.id/legalisasi-bencana-ekologis-di-sumatera-barat-aceh-dan-sumatera-utara-dan-tuntutan-tanggung-jawab-negara-serta-korporasi.
[4] Tempo. “Pakar Geologi UGM Jelaskan Penyebab Banjir Sumatera Bisa Berdampak Dahsyat.” Desember | 12.58 WIB 2025. https://www.tempo.co/politik/pakar-geologi-ugm-jelaskan-penyebab-banjir-sumatera-bisa-berdampak-dahsyat-2096442.
[5] “Kebun Sawit Tak Seharusnya Gantikan Fungsi Hutan.” Forest Watch Indonesia, n.d. Accessed December 8, 2025. https://fwi.or.id/kebun-sawit-tak-seharusnya-gantikan-fungsi-hutan/.
[6] Media, Kompas Cyber. “Kerugian Banjir Sumatera Capai Rp 68,67 Triliun, Siapa Tanggung Jawab?” KOMPAS.com, December 8, 2025. https://money.kompas.com/read/2025/12/08/083931626/kerugian-banjir-sumatera-capai-rp-6867-triliun-siapa-tanggung-jawab.
[7] Years of Living Dangerously. Season 1, episode 2, “End of the Woods.” Ditayangkan 20 April 2014, di Showtime. Video YouTube, 56:45. Diunggah oleh “The YEARS Project,” 2 Maret 2022. https://www.youtube.com/watch?v=Vy5ZI6wUSjM.
[8] Machiavelli, N. (2021). Il Principe: Sang Pangeran. (Dwi Ekasari Aryani, Penerjemah). Yogyakarta: Cakrawala Sketsa Mandiri.