Featured image of post Iwan Fals — Mengabadikan tragedi lewat nada

Iwan Fals — Mengabadikan tragedi lewat nada

Lagu-lagu tentang tragedi oleh Iwan Fals

02 Desember 2025

Awalan

Akhirnya, setelah bergelut dengan berbagai kesibukan yang datang bertubi-tubi, sempat juga saya untuk mengisi kembali konten di blog ini. Sampai lupa rasanya saya terakhir kali menulis disini karena saya nulis di tempat lain (di word maksudnya, nyiapin skripsi wkwk). Saya juga ga kemana-kemana, jadi bingung juga mau nulis apa sebenarnya kali ini, biasanya kan konten saya ini isinya ya cerita-cerita perjalanan yang saya lakukan.

Berhubung kondisinya seperti itu maka saya putuskan untuk menulis opini saya terhadap karya-karya artis, seniman, atau pelaku yang menghasilkan produk yang dibuat berdasarkan apa yang dia rasakan, passion lah kalo bisa dibilang. Lagu, buku, lukisan, sampai patung akan saya bahas dalam series kali ini. Perlu diingat jika ini hanya opini atau pendapat saya pribadi ketika saya mendengar, melihat, dan merasakan sebuah karya, jika anda punya pendapat yang berbeda, saya hormati itu. Series kali ini akan kita sebut saja dengan Renjana dalam Kata.

Karena ini merupakan episode pembuka dalam Renjana dalam Kata, maka saya akan mebahas idola pertama saya sejak saya masih duduk di bangku sekolah dasar yaitu Iwan Fals. “Hah, anak kecil kok idolanya Iwan Fals? Apa ga sinkron itu lagu sama umur?” Tenang, saya jelaskan, di lingkungan tempat saya dilahirkan dan dibesarkan, memang hampir semua kalangan di sana sangat suka sekali mendengarkan lagu Iwan Fals. Untuk saya yang memang masih sangat kecil sekali saat itu, saya sangat fomo dengan orang-orang disekitar saya untuk ikut mendengarkan lagu-lagunya. Yah karena usia saya juga masih anak-anak, lagu-lagu Iwan Fals hanya sekedar didengarkan dan dinikmati saja, anak sekecil itu mana paham makna setiap kata dan nada dalam lagunya.

Setelah dewasa kini (dewasa ga tuh), bait lirik yang dibawakan Om Iwan terasa menjadi lebih hidup dan jelas di telinga. Orang-orang mungkin tau Iwan Fals lewat lagu seperti Bongkar, Bento, atau Pesawat Tempur yang membuat kuping penguasa pada saat itu panas. Selain lagu-lagu berani, Om Iwan juga mempunyai sisi lembut yang dia hadirkan dalam lagu seperti Yang Terlupakan, Maaf Cintaku, Izinkan Aku Menyayangimu dan lainnya dengan lirik puitis, manis, namun tidak cengeng.

Masih banyak lagu lainnya yang pernah dibuat oleh Om Iwan dalam hidupnya dengan berbagai tema, khususnya potret kehidupan dari berbagai kalangan, ada tentang guru honorer, orang-orang yang terpinggirkan, sampai pekerja seks komersial. Namun, pada segmen kali ini, secara khusus saya akan membahas karya-karya dari Om Iwan mengenai tragedi-tragedi yang pernah terjadi di masa lampau, juga bagaimana sang legenda ini membawakannya dalam lirik-lirik lagunya.

Ethiopia (1986) — Album Ethiopia

Lewat lagu ini, Om Iwan sukses menggambarkan keadaan bencana kelaparan Ethiopia 1983-1985, sebuah tragedi dengan korban jiwa (meninggal) diperkirakan 400.000 hingga 1.200.000 jiwa [1].

Lewat lirik-lirik yang dikemas dengan metafora dan hiperbola, pendengar langsung dibawa untuk melihat bagaimana kondisi di sana. Ya anda tidak salah baca, lagu ini lebih seperti lensa fotografi yang menangkap momen-momen mengiris hati yang membuat kita mengelus dada dan gelengkan kepala dengan apa yang terjadi di Ethiopia saat itu. Bahkan setelah empat dekade lamanya lagu ini dirilis, lagu Ethiopia masih bisa menggambarkannya dengan jelas.

Lagu ini dibuka dengan gambaran kelaparan massal yang ekstrim, memberitahukan bahwa lagu ini bukan hanya kritik sosial melainkan sebuah dokumenter yang dibawakan lewat sebuah lagu.

“Dengar rintihan berjuta kepala
Waktu lapar menggila
Hamparan manusia tunggu mati
Nyawa tak ada arti”

Tidak ada romantisasi apapun, langsung ke inti tragedi. Tanpa diberi waktu untuk berkedip, pendengar mulai dibawa untuk masuk ke dalam lagu Ethiopia.

“Derap langkah Sang Penggali Kubur
Angkat yang mati dengan kelingking
Parade murka bocah petaka
Tak akan lenyap, kian menggema”

Masuk bagian verse lagu, Iwan Fals menyanyikan lirik melalui gambaran “Sang Penggali Kubur” yang mengangkat mayat hanya dengan kelingking, sebuah metafor hiperbolik yang menunjukan bahwa mayat yang diangkat sudah seringan tulang saja.

“Lalat lalat berdansa cha-cha-cha
Berebut makan dengan mereka
Tangis bayi di tetek ibunya
Keringkan air mata dunia”

Lalat menjadi pembawaan satir tentang bagaimana di tempat bak neraka itu, hanya lalat lah yang bersuka ria mengerubungi tubuh-tubuh yang kelaparan. Bait demi bait yang dibawa, mewakilkan kepingan apa yang terjadi di Ethiopia, anak-anak kurus kering, tubuh tinggal tulang, dan luka lainnya yang terjadi di sana.

Di bagian bridge lagu, Om Iwan membawakan sebuah puisi yang menambah kesan gelap di lagu ini.

“Di sana terlihat ribuan burung nazar
Terbang di sisi iga-iga yang keluar
Jutaan orang memaki takdirnya
Jutaan orang mengutuk nasibnya
Jutaan orang marah
Jutaan orang tak bisa berbuat apa-apa”

Burung nazar yang terbang di sisi iga-iga yang keluar itu nyata, bisa dilihat dalam foto-foto Ethiopian famine disaster. “Jutaan orang memaki takdirnya…” mengekspresikan kehidupan banyak orang atas takdir yang dijalaninya, atas nasib yang menimpanya, atas kemarahan karena ketidakberdayaanya. Dalam lirik tersebut, saya rasa Om Iwan juga ingin menyampaikan bahwa kita tidak akan tahu penderitaan macam apa yang mereka rasakan sebelum kita juga mengalaminya. Maka dari itu keluhanmu saat ini belum ada apa-apanya dibanding keluhan mereka yang di Ethiopia. Intinya: Bersyukurlah.

“Aku dengar jeritmu dari sini aku dengar
Aku dengar tangismu dari sini aku dengar
Namun aku hanya bisa mendengar
Aku hanya bisa sedih
Hitam kulitmu, sehitam nasibmu kawan”

Di sini Om Iwan berhenti sejenak, seolah-olah tak sanggup lagi untuk melanjutkan lagunya. Lirik ini memperlihatkan konflik moral yang terjadi pada saat itu, bahwasannya tak ada yang bisa kita lakukan, hanya bisa sedih meratapi apa yang sedang terjadi. Bagian ini juga menurut saya menjadi inti dari lagu ini, keputusaan yang disampaikan secara jujur oleh sang vokalis.

“Waktu kita asik makan waktu kita asik minum
Mereka haus, mereka lapar
Mereka lapar, mereka lapar”

Bagian akhir lagu menunjukan ironi yang menusuk, disaat kita asik makan dan minum, di tempat lain ada orang-orang yang kehausan dan kelaparan. Yah, bagi saya, lirik ini merupakan cambukan keras dan pengingat jika kelaparan itu juga terjadi bersamaan dengan rutinitas kecil kita.

Track ini merupakan salah satu lagu favorit saya. Pernah suatu waktu emosi saya sedang terombang-ambing dan tak sengaja lagu ini terputar, karena saya sedang emosional pada saat itu, saya ikut menghayati lagunya, membuat saya meneteskan air mata wkwk. Jadi itulah, Ethiopia.

Tolong Dengar Tuhan (1984) — Album Sugali

Dari Afrika, kita kembali lagi ke Indonesia, dengan luka yang lebih dekat. Tolong Dengar Tuhan merupakan sebuah lagu tentang letusan Gunung Galunggung pada tahun 1982 di Jawa Barat. Aktivitas gunung pada saat itu baru berhenti setelah 9 bulan, tepatnya pada 8 Januari 1983 [2].

Berbeda dengan penyajian lagu Ethiopia yang seperti reportase lapangan, penyajian lagu Tolong Dengar Tuhan terasa lebih seperti dialog, keluhan, bahkan protes terhadap Tuhan. Dengar saja pembukaan lagu ini:

“Hey Tuhan
Apakah kau dengar
Jerit umatmu
Diselah tebalnya debu”

Om Iwan menyapa Tuhan dengan sapaan “Hey” yang terdengar lancang dibandingkan dengan “Ya”, menandakan keintiman seorang hamba yang menuntut perhatian segera. Pengunaan kata “Hey” juga menunjukan urgensi pada saat itu seolah-olah doa-doa halus sudah tidak mempan.

“Hey Tuhan
Katanya engkau maha bijaksana
Tolong Galunggung pindahkan ke kota
Dimana tempat segala macam dosa”

Di sini Om Iwan sangat berani dalam liriknya, dengan membawakan satire tingkat tinggi, mempertanyakan konsep keadilan dengan logika manusia yang sederhana. Kenapa desa yang isinya petani lugu, yang “hidup tak manja” justru yang habis terkena bencana? Kenapa bukan kota, tempat kemewahan dan segala macam dosa yang diberikan gunung meletus?

“Berat beban kau datangkan
Pada mereka disana
Cela apa nista apa
Hingga engkau begitu murka
Sungguh ku tak mengerti”

Lirik ini memperjelas bait-bait sebelumnya, rasa frustasi terhadap kesenjangan sosial karena orang-orang kecil yang sudah susah, menjadi semakin susah akibat bencana. Menggambarkan paradoks kejahatan dimana orang baik selalu terkena musibah dan yang jahat aman-aman saja.

“Acap kali rintih memaki
Setiap duka tuding Ilahi
Jangan salahkan kecewa kami
Bosan dalam irama takdirmu
Walau ku tak terganggu”

Kalimat “Bosan dalam irama takdirmu” mewakili titik nadir manusia ketika kata “sabar” dan “takdir” sudah tidak lagi bisa menjadi obat penenang. Ketika penderitaan datang bertubi-tubi, wajar jika iman goyah dan manusia mulai menuding langit. Om Iwan memotret sisi manusiawi ini dengan sangat gamblang, bahwasanya kecewa pada Tuhan saat bencana itu adalah respon yang valid dan manusiawi.

Lagu ini ditutup dengan chanting yang diulang-ulang sampai lagu selesai:

“Amuk lahar yang datang hanguskan bumi
Tinggalkan arang penghuni desa pergi
Gemuruh batu hancurkan saudaraku
Ulurkan tangan bantulah sesamamu”

Pengulangan bait ini diakhir lagu seolah-olah menunjukkan kepanikan yang tak ada ujungnya, lahar yang terus datang dan batu yang terus bergemuruh. Pada akhirnya, ketika protes kepada langit sudah disampaikan, sisanya tinggal “Ulurkan tangan bantulah sesamamu”, kita sendiri sebagai manusia yang harus saling membantu dalam menghadapi bencana.

Menurut saya, bagian terbaik pada lagu ini ada di bagian terakhir, dengan bait yang berulang-ulang dan nada yang terkesan tergesa-gesa? Hal tersebut mampu membuat saya agak merinding saat mendengarnya, serasa mendengarkan mantra yang diulang-ulang. Lagu ini juga menjadi potret masyarakat agraris yang dikhianati oleh alam yang selalu mereka rawat dan juga rasa frustasi terhadap ketidak adilan nasib.

Celoteh Camar Tolol dan Cemar (1983) — Album Sumbang

Setelah melihat tragedi-tragedi yang terjadi di daratan, mari kita pindah ke lautan. Celoteh Camar Tolol dan Cemar merupakan sebuah lagu yang menceritakan tentang tragedi tenggelamnya KMP Tampomas II di perairan Masalembo, Jawa Timur pada tahun 1981. Korban dari tragedi ini diperkirakan mencapai 600 jiwa meninggal dunia [3].

Jika dalam lagu Tolong Dengar Tuhan Om Iwan memprotes Tuhan, di lagu ini justru sebaliknya, Om Iwan membebaskan Tuhan dari tuduhan. Dia dengan tegas menolak narasi yang mengatakan bahwa targedi Tampomas adalah takdir Tuhan, atau peringatan Tuhan. Lagu ini ngotot untuk mengungkap fakta dan menolak semua alasan yang mengakibatkan ratusan nyawa melayang.

“Api menjalar dari sebuah kapal
Jerit ketakutan
Keras melebihi gemuruh gelombang yang datang”

Pembukaan lagu ini langsung mengajak pendengan untuk masuk kedalam kobaran api dalam kapal. Bayangkan saja, pada saat gejolak api membakar kapal, jeritan manusia pada saat itu lebih keras melebihi suara gemuruh gelombang laut. Hiperbola disampaikan dengan jelas, manusia terjebak di kapal, panik, tidak ada jalan untuk kabur. Mau kabur kemana? Mereka berada di tengah laut?

“Asap kematian dan bau daging terbakar
Terus menggelepar dalam ingatan”

Kengerian di kapal ditambah dengan lirik ini, memaksa pendengar untuk membayangkan bagaimana kondisi penumpang terjebak oleh api di tengah laut. Jika dalam Ethiopia kita melihat potret kelaparan, maka dalam Celoteh Camar Tolol dan Cemar kita mencium aroma kematian.

“Hatiku rasa bukan takdir Tuhan
Karena aku yakin itu tak mungkin
Bukan, bukan itu aku rasa kitapun tahu
Petaka terjadi karena salah kita sendiri

Disini, Om Iwan menolak keras jika musibah Tampomas II disebabkan oleh Tuhan yang sekejam itu untuk mengorbankan ratusan nyawa hanya untuk sebuah peringatan. Lalu salah siapa? “Petaka terjadi karena salah kita sendiri”, sebuah pengakuan dosa kolektif karena mungkin kelalaian, keserakahan, atau ketidakbecusan manusia.

“Datangnya pertolongan yang sangat diharapkan
Bagai rindukan bulan lamban engkau pahlawan
Celoteh Sang Camar”

Saya merasa bahwa “Sang Camar” yang disebutkan dalam lagu ini adalah pejabat atau pemegang kekuasaan pada saat itu. Hal ini tercermin pada judul lagu Celoteh Camar Tolol… Diluar itu, pahlawan yang diharapkan oleh penumpang kapal (tim SAR mungkin atau otoritas lainya) sangat lambat dalam penanganan.

Di bagian akhir, kemarahan Om Iwan mencapai klimaksnya:

“Tampomas sebuah kapal bekas
Tampomas terbakar di laut lepas
Tampomas tuh penumpang terjun bebas
Tampomas beli lewat jalur culas”

Mulai dari sini, lirik yang dibawakan bersifat repetitif, mengulang-ngulang, kata-katanya seperti headline koran yang diteriakan berkali-kali. Liriknya seolah membongkar borok dibalik tragedi ini, karena memang KMP Tampomas II merupakan kapal bekas yang dibeli oleh Pelni pada saat itu dengan harga USD8,3 juta dari PT PANN. Belakangan diketahui bahwa harga jual yang pernah ditawarkan sebelumnya hanya USD6,4 juta [4], menyebabkan adanya dugaan korupsi pada kapal tersebut. Hal ini semakin menekankan bahwa kecelakaan ini terjadi bukan karena alam, melainkan karena manusia (man made disaster).

“Tampomas kasus ini wajib tuntas
Tampomas koran-koran seperti amblas
Tampomas pahlawanmu kurang tangkas
Tampomas cukup tamat bilang naas”

Lagu ini diakhiri dengan kritik terhadap media yang bungkam dan pahlawan atau tim penyelamat yang kurang tangkas. “Cukup tamat bilang naas” sarkasme, segampang itukah ratusan nyawa dianggap selesai urusannya hanya dengan bilang “nasib sial”?

Karamnya KMP Tampomas II pada masa itu memang cukup kontroversial dan banyak kejanggalan. Musisi lainnya yang mengabadikan tragedi ini kedalam sebuah lagu adalah Ebiet G. Ade lewat Sebuah Tragedi 1981 dan Doel Sumbang lewat Bencana Bencana.

Dalam lagu ini Om Iwan seperti mengajak pendengarnya untuk mengepalkan tangan dan marah terhdap ketidakberesan sistem di balik duka yang mendalam. Saya rasa lagu ini memang ciri khas seorang Iwan Fals sekali, karena penuh kritik dan berani pada masanya.

Akhiran

Begitulah Om Iwan menuangkan sebuah tragedi kedalam sebuah lagu. Masih ada sebenarnya lagu tentang tragedi dari Iwan Fals seperti 1910 tentang tragedi kereta api Bintaro, Kanjuruhan tentang tragedi hilangnya 135 nyawa di Stadion Kanjuruhan, dan lain sebagainya.

Tetapi menurut saya, ketiga lagu diatas sudah cukup untuk memahami bagaimana Om Iwan mengubah duka menjadi nada. Lagu-lagu ini kemudian menjadi monumen pengingat bagi kita di masa sekarang agar tidak lupa.

Sekian,

Zhafir Atha.

Selesai pada 03 Desember 2025 22:37WIB

Sumber:

[1]: Wikipedia. “1983–1985 famine in Ethiopia.” November 30, 2025. https://en.wikipedia.org/w/index.php?title=1983%E2%80%931985_famine_in_Ethiopia&oldid=1325044639.

[2]: Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. “Gunung Galunggung.” November 21, 2025. https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Gunung_Galunggung&oldid=28576968.

[3]: Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. “Tenggelamnya KMP Tampomas II.” November 14, 2025. https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Tenggelamnya_KMP_Tampomas_II&oldid=28471648.

[4]: Kompas, Tim Harian. “Korupsi di balik tragedi tampomas ii.” Kompas.id, April 28, 2019. https://www.kompas.id/baca/utama/2019/04/28/korupsi-di-balik-tragedi-tampomas-ii.

Built with Hugo
Theme Stack designed by Jimmy