Jadi Surveyor Di Dieng

Menyusuri kehidupan sosial-ekonomi masyarakat Tanah Para Dewa

22 September - 26 September 2025

Dataran Tinggi Dieng

Awalan

Saat itu, saya sedang di Malang, mencari udara dingin akibat muak dengan panasnya Kota Surabaya. Tiba-tiba, seorang sahabat menelpon saya, mengajak saya untuk menjadi bagian dari proyek dosen sebagai surveyor di Dieng. Awalnya, saya ingin menolaknya, tapi karena saya suka sekali jalan-jalan, saya pikir why not? Apalagi survei di Dieng itu memakan waktu lima hari, segala kebutuhan termasuk makan dan lainnya ditanggung oleh kampus, dapat bayaran pula. Akhirnya saya menerima ajakan itu, tapi sebentar, izinkan saya untuk bersenang-senang terlebih dahulu di Malang hehe.

Minggu sore, saya bergegas pulang menuju Surabaya untuk menyiapkan keperluan yang harus dibawa ke Dieng, tak lupa jaket, sarung, dan pakaian tebal lainnya saya masukan ke dalam tas carrier. Lima hari tentunnya bukan waktu yang sebentar, tas carrier yang akan saya bawa juga hampir penuh, laptop, buku catatan, alat tulis, dan keperluan lainnya turut saya bawa, selain karena kebutuhan survey, alat-alat itu saya bawa karena saya sedang mempersiapkan proposal tugas akhir, yah namanya juga ingin lulus, harus ada perjuangan walau sedikit. Sebagai sarana hiburan, saya membawa joystick untuk bermain game bersama kawan-kawan, walaupun pada akhirnya joystik itu hanya terpakai sekali karena laptop saya error wkwk—entah kenapa, setiap mahasiswa mulai tugas akhir, laptopnya juga suka ikutan stres.

Senin sore, saya berangkat menuju kampus sebagai titik kumpul surveyor yang akan berangkat ke Dieng. Kebutuhan survei dan bersama disiapkan disana, sekalian briefing singkat tentang surat-surat yang diperlukan saat disana, apa saja yang harus diisi, kuesionernya seperti apa, dan lain sebagainya. Surveyor yang berangkat berjumlah enam orang—tiga laki-laki dan 3 perempuan, serta satu orang supir yang akan membawa kami berenam menuju Dieng dan lokasi-lokasi survei disana. Saya dan kawan-kawan mulai berangkat selepas isya, perjalanan panjang dari Surabaya ke Dieng resmi dimulai.

Perbekalan

Perjalanan menuju Dieng membutuhkan waktu 8 jam—memasuki toll dari gerbang toll Waru, Surabaya, berhenti di rest area madiun, keluar toll di Sragen untuk makan, lalu lanjut lewat toll lagi hingga keluar di exit toll Unggaran, Semarang. Setelah keluar toll, jalanan mulai menanjak dan berkelok-kelok, mirip-mirip dengan jalan di Jawa Barat, yah sama-sama pegunungan kan ya.

Dieng

Waktu menunjukan pukul 03.30 ketika saya sampai di villa tempat saya dan teman-teman akan tinggal selama lima hari kedepan. Turun dari mobil, udara dingin langsung menusuk tajam, tak heran karena pagi itu suhu disana berada di angka 12°C. Saya langsung membakar sebatang rokok, menyesapnya dalam-dalam di kedinginan Dieng, asapnya langsung menghangatkan paru-paru (jangan ditiru ya, mending nyium freshcare aja wkwk). Setelah menghabiskan sebatang rokok, memindahkan barang-barang ke dalam villa, dan rehat sejenak, saya langsung bergegas tidur—bersiap-siap untuk menjalankan tugas di esok hari, eh maksudnya hari itu.

Setelah istirahat, pada jam 10.00 pagi di hari yang sama, kami bertujuh bergegas pergi untuk sarapan dan sekalian bertugas. Oiya, jadi survei ini dilakukan untuk mengetahui tingkat pemahaman masyarakat terhadap energi terbarukan, khususnya geothermal energy atau pembangkit listrik tenaga panas bumi, beserta bagaimana penerimaan masyatakat terhadap power plant tersebut. Survei dibagi menjadi tiga kelompok, masing-masing terdiri dari dua orang, dengan target sepuluh responden per hari.

Survei

Responden pertama yang saya temui adalah penjaga toko cinderamata Dieng. Setelah di bujuk-bujuk, akhirnya dia pun bersedia menjadi responden bersama temannya. Ditanya mengenai asalnya, ternyata penjaga itu orang Garut, sesama getih sunda dengan saya, tak butuh waktu lama saya dengannya menjadi akrab— nya kitu da ari papanggih jeung sadulur di perantauan mah.

Bertemu dengan responden-responden selanjutnya saya tidak banyak berbicara, karena mayoritas orang-orang disana bercakap menggunakan bahasa ngapak. Untuk itu, saya mengandalkan sahabat saya yang sama-sama wong ngapak untuk memimpin pembicaraan dengan responden—yah agak sulit sih memang mengikuti pembicaraan mereka buat saya yang cuma tau inyong sama kencot doang wkwk.

Setelah adzan ashar berkumandang, tim surveyor kembali menuju villa untuk beristirahat.

Pen carian responden kemudian di lanjut pada malam hari di kawasan utama Dieng yang cukup ramai walau sudah malam. Saya dan sahabat saya masuk ke dalam rumah makan, bukan untuk makan tapi untuk mencari responden. Disana, kami berdua merasakan kehangatan pemilik rumah makan, selain bersedia untuk dijadikan responden, mereka juga menyuguhi kami dengan gorengan dan kopi. Walaupun daerah Dieng sangat dingin, orang-orang disana tetap hangat.

Hari pertama diakhiri dengan berfoto bersama di tugu Titik Nol Dieng, lalu pulang kembali ke villa untuk merekap hasil survei dan dilanjutkan istirahat.

Titik Nol Dieng

Hari kedua dan ketiga kurang lebih sama seperti hari pertama. Jadi surveyor ternyata susah-susah gampang, susahnya adalah masyarakat masih takut untuk berpendapat dan curiga dengan kami orang asing. Walaupun masih ada beberapa yang sangat-sangat terbuka mengenai kondisi disana.

Rasa

Ada seorang warga yang mengajak saya ke rumahnya yang sederhana, lalu menjelaskan kondisi air disana yang tidak layak dikonsumsi karena dampak dari operasi power plant. Rasa airnya begitu aneh, asin? Kecut? Bersoda? Entahlah, padahal ada di pegunungan yang dikenal dengan airnya yang segar. Tapi disini? Kebalikannya.

Setiap individu disana memiliki pendapat yang berbeda-beda, ada yang terima-terima saja dengan operasi power plant, ada yang memang menolak karena memang efek negatifnya tidak sebanding dengan apa yang didapatkan oleh masyarakat. Masyarakat disana pun masih belum semuanya tahu power plant itu apa, merek hanya sebatas tau nama perusahaannya saja.

Area Panas Bumi Dieng

Yang paling saya rasakan saat berada disana adalah kualitas udaranya yang berbau menyengat. Hal ini diperkuat dengan penelitian dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) pada tahun 2024 bahwa kualitas udara di Pawuhan, Banjarnegara melewati batas aman dengan kandungan gas beracun mencapai 2 ppm.

Sikunir

Long story short, target responden untuk survei telah terpenuhi. Mumpung sedang di Dieng, saya bersama rekan-rekan surveyor memutuskan untuk menanjak menuju Sikunir. Puncak Sikunir memiliki ketinggian ±2.300 mdpl, mulai mendaki dari ketinggian ±1.500 mdpl. Jalan menuju puncak sudah bertangga, memudahkan pelancong untuk naik ke atas.

Saat naik, saya berada paling belakang—sweeper, memastikan yang lain agar tidak tertinggal. Berjalan santai, sambil menghisap rokok, sesekali saya berhenti untuk menunggu senior saya beristirahat, memastikan tugas saya agar tidak ada yang tetinggal di belakang.

Sampai pos 3 (saya juga lupa), kondisi saat itu berkabut tebal. Pandangan terbatas. Namun bisa terlihat jika pos 3 pada saat itu sedang ramai, walaupun saya naik pada saat hari kerja. Disana terdapat toilet berbayar dan musholla yang bisa digunakan. Setelah beristirahat dan sembahyang, perjalanan menuju puncak dilanjutkan kembali.

Pos 3

Perjalanan menuju puncak dari pos 3 tidak terlalu jauh, hanya dalam beberapa menit rombongan kami sudah sampai di puncak. Sama seperti di bawah, Puncak Sikunir diselimuti kabut tebal. Ketika matahari sudah berada sejajar dengan puncak Gunung Sindoro, barulah kabut itu terusir dari Sikunir. Pemandangan yang disajikan dari puncak membuat saya segera mengeluarkan gawai dari saku, mengabadikan momen di Puncak Sikunir.

Gunung Sindoro dari Puncak Sikunir

Sekitar 1 jam lebih kami berada di puncak, berfoto, menyaksikan pemandangan, dan bertahan dari dinginnya Puncak Sikunir. Saya juga sempat mengeksplorasi Puncak Sikunir dengan kedua teman saya. Pada saat mengeksplorasi, kami bertiga bertemu dengan pasangan bule asal Austria. Sama seperti pelancong lain, mereka sedang mengambil gambar dengan latar yang begitu mempesona. Iseng saja kami bertiga meminta untuk difotokan karena bule tersebut katanya adalah fotografer.

Begitu selesai, kami mengikuti jejak bule Austria tadi menuju ke barat daya Puncak Sikunir, melewati jalan sempit yang hampir tertutup oleh semak belukar. Sampai di ujung jurang, terlihat Desa Sembungan dengan danau Telaga Cebong. Pemandangan tersebut benar-benar membuat kami takjub, ada ya pemandangan seperti ini?

Desa Sembungan dan Telaga Cebong

Pulang

Sepulangnya dari Sikunir, kami berenam tepar, lelah akibat tamasya kecil ke Sikunir. Setelah beristirahat, dan mengisi energi kembali, agenda selanjutnya adalah mendigitalkan hasil survei. Prosesnya adalah dengan memasukan data yang ada di hardfile ke dalam Google Form, dilakukan satu persatu sampai selesai.

Besoknya, setelah menunaikan ibadah sholat jum’at, tim survei berpamitan dengan Dieng untuk kembali ke Surabaya.

Sungguh, lima hari yang berkesan selama kegiatan ini. Tidak terbayang oleh saya pertama kali ke Dieng bukan untuk liburan, tapi untuk bertugas. Rasanya disana seperti Terasering Panyaweuyan di Argapura, Majalengka tapi dengan versi yang berkali-kali lipat jauh lebih besar. Ditambah kehidupan masyarakat di Dieng dengan iklim yang dingin, mereka bepergian kemanapun selalu mengaitkan sarung di lehernya.

View dari Puncak Sikunir

Akhiran

Dieng yang berarti dalam bahasa kawi mengandung arti “Tanah Para Dewa”, dulunya adalah tempat suci keagamaan Hindu-Buddha dan disakralkan karena kepercayaannya jika dewa bertempat tinggal di dataran tinggi. Namun, seiring berjalannya waktu, keyakinan itu bergeser, dan tangan manusia mulai mengolah tanah yang dahulu disakralkan itu. Sekarang, Dieng bukan hanya tempet pemujaan, tapi tanah kehidupan dengan ladang kentang, carica, dan lanskap yang memesona. Tanah para dewa itu pun kini berubah menjadi tempat orang mencari rezeki, sekaligus mencari tenang.

Mungkin saja memang seperti itu hidup berjalan, hal-hal yang dahulu dianggap sakral bisa berubah menjadi sesuatu yang sederhana. Tapi justru itu, dibalik kesederhanaan tadi, ada kesakralan baru—bukan lagi di candi, tapi di tawa para petani, di tongkrongan warung kopi, dan di udara dingin pagi yang menyelimuti Dieng. Para dewa di Dieng mungkin tak pergi, mereka hanya pindah tempat—menetap di hati manusia yang menjaga dataran tinggi ini.

Meskipun seperti itu, saya tidak bisa menutup mata dari sisi Dieng yang lainnya. Dibalik hijaunya ladang dan keramah tamahan warganya, ada kekhawatiran yang nyata, tentang kualitas udara dan airnya, dan tentang tanah juga masyarakat diatasnya. Yah semoga saja kedepannya bisa baik-baik saja, untuk tanahnya, untuk warganya, dan untuk Dieng nya sendiri. Saya percaya, alam punya caranya sendiri untuk kembali menyeimbangkan segalanya.

“In every walk with nature, one receives far more than he seeks.”

John Muir

Sekian,

Zhafir Atha.

Built with Hugo
Theme Stack designed by Jimmy